6.6 Artikel Yang Berhubungan Dengan Kesamaan Derajat
Di kalangan masyarakat yang menganut tradisi hukum civil law, ketentuan tentang hukum tata negara darurat bisanya diatur secara eksplisit dalam undang-undang dasar dengan rincian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang (statute). Misalnya, konsep dasar tentang etat de siege di Prancis, yang diatur dalam Konstitusi Republik Kelima tahun 1958 dan dielaborasi lebih rinci dalam undang-undang. Namun, di Amerika Serikat, Inggris, dan juga di negara-negara common law lainnya, tradisi yang demikian itu tidak dikenal. Praktik yang dikembangkan di kalangan negara-negara Anglo-Amerika adalah praktik yang biasa disebut dengan istilah martial law yang sama sekali tidak diatur dalam naskah undang-undang dasar secara tertulis (written constitution) dalam arti yang lazim. Di masyarakat, juga tidak terdapat ketentuan
hukum seperti undang-undang yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat itu.” Berbeda dart negara-negara yang menganut sistem civil law, seperti Prancis, India, termasuk Indonesia, pemberlakuan keadaan darurat dan kewenangan Kepala Negara secara eksplisit diatur dalam
konstitusi negara yang bersangkutan.
Di Amerika Serikat, doktrin martial law ini berkembang dengan sendirinya dalam praktik melalui peranan pengadilan atas dasar prinsip judge-made law (Hakim membuat undang-undang/hukum).
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, istilah-istilah state of emergency (Inggris), martial law (Amerika Serikat), etat de siege (Prancis), staatsnoodrecht (Belanda), dan lain-lain, semua menunjuk kepada pengertian keadaan luar biasa atau keadaan di luar kebiasaan yang memberikan pembenaran bagi diterapkan atau berlakunya hukum yang juga luar biasa, di luar kebiasaan normal.
Pada keadaan yang normal/biasa, berlaku hukum yang normal atau biasa yang bersifat tetap (permanen), sedangkan dalam keadaan tidak normal berlaku hukum darurat yang bersifat sementara, yang dapat mengesampingkan prinsip-prinsip hukum keadaan normal.
Di sini, esensinya didasarkan pada konsep kebutuhan (the concept of necessity), dengan mengurangi batasan-batasan terhadap penggunaan kekuatan militer, jika keadaan negara menghendaki pemberlakuan keadaan darurat itu.
Sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, pada tahun 1848 timbul kasus pertama di pengadilan berkenaan dengan pemberlakuan martial law ini, yaitu perkara Luther vs Borden. Menurut Chief Justice Taney: “
A state could impose martial law to combat an insurrection, and the decision as to whether to do so is left to the state itself‘” (Negara dapat memberlakukan
hukum keadaan darurat untuk mengatasi huru-hara, dan keputusan untuk melakukannya atau tidak tergantung negara itu sendiri). Dengan perkataan lain, menurut Mahkamah Agung pada perkara pertama ini: “States possessed the power to declare martial law without being subject to judicial review” (Negara dianggap mempunyai wewenang untuk memberlakukan martial law (hukum darurat militer) tanpa harus tunduk pengujian oleh pengadilan).
Kemudian, kasus kedua, ketika dikenal adanya perkara Ex parte Miligan pada tahun 1864. Sebagai seorang warga sipil yang diadili oleh military commission (Military Tribunal), Miligan mengajukan permohonan a writ of habeas corpus ke pengadilan federal dengan mempersoalkan kewenangan (jurisdiksi) peradilan militer untuk mengadili dirinya.
Akhirnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat menentukan bahwa martial law tidak dapat diterapkan bagi warga negara apabila negara berada dalam keadaan normal dan di mana pengadilan sipil dapat menjalankan tugasnya secara terbuka tanpa halangan. Dalam keadaan demikian, pengadilan militer tidak dapat mengadili siapa pun juga dari warga sipil yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum.
Dari contoh praktik penyelesaian keadaan darurat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa selain negara mempunyai wewenang untuk memberlakukan martial law tanpa harus tunduk pengujian oleh pengadilan, juga putusan Mahkamah Agung menetapkan bahwa martial law tidak dapat diterapkan terhadap warga negara apabila negara berada dalam keadaan normal, ketika pengadilan sipil dapat menjalankan tugasnya secara terbuka tanpa halangan. Dengan kata lain, peradilan militer itu hanya dilaksanakan terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum ketika terjadi keadaan darurat, bukan untuk keadaan normal.
Di Indonesia pelanggaran HAM berat di saat pemberlakuan keadaan darurat militer, misalnya di Timor-Timur, hal itu justru diselesaikan dengan prosedur dan cara-cara yang normal seperti diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bukan diselesaikan dengan peradilan militer. Fungsi Pengadilan Militer dan Pengadilan Sipil saat itu tetap berjalan sebagaimana biasanya dalam keadaan normal.
Saat Presiden Henry Truman menentukan konstitusionalitas pemberlakuan keadaan darurat (state of emergency), Justice Jackson mengidentifikasikan adanya tiga kategori kewenangan Presiden untuk memberlakukan martial law dalam keadaan bahaya atau darurat (state of emergency),” yaitu:
1) Karena didasarkan atas kuasa Kongres; atau
2) Tidak didukung secara eksplisit oleh Kongres, tetapi Kongres sendiri tidak
melarang tindakan pemberlakuan keadaan darurat dimaksud; atau 3) Bahwa Presiden memberlakukan sendiri keadaan darurat tersebut meskipun Kongres menentang.
Dalam kategori pertama, pemerintah bertindak eksplisit atau implisit dengan didasarkan pada delegasi kekuasaan dari kongres. Di sini kewenangan Presiden berada pada posisi yang “sangat kuat” karena menguasai semua kewenangannya sendiri dalam keadaan biasa, ditambah kewenangan baru yang didelegasikan oleh Kongres untuk bertindak di luar keadaan biasa.
Dalam kategori kedua, Presiden bertindak tanpa dukungan eksplisit dari Kongres. Di sini Kongres bersikap diam saja atas tindakan Presiden. Presiden hanya menggunakan kewenangan otonomnya (independent authority), dan konstitusionalitas keadaan darurat itu tergantung pada apakah kegiatan demikian berada dalam kewenangan inherennya sendiri atau tidak (his own inherent powers).
Dalam kategori ketiga, Presiden bertindak dengan berposisi langsung terhadap kehendak eksplisit ataupun implisit dari kongres. Tindakan Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat dalam kategori terakhir ini merupakan tindakan yang paling rendah derajat konstitusionalitasnya sehingga dapat dijadikan alasan yang paling mudah untuk diperkarakan ke pengadilan. Dalam keadaan demikian, pengadilanlah nantinya yang akan menentukan putusan final atas konstitusionalitas pemberlakuan keadaan darurat dimaksud.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kewenangan Presiden selaku kepala negara dan pemerintahan dalam menentukan dan menetapkan status
hukum keadaan darurat “sangat kuat” dan sentral. Indonesia pun menganut hal yang sama, kewenangan Presiden memberlakukan tindakan luar biasa (keadaan darurat) dibenarkan secara hukum sesuai menurut Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, asalkan status
hukum keadaan darurat (state of emergency) itu dideklarasikan terlebih dahulu oleh Presiden kepada publik.