Jumat, 23 Desember 2011

Bab 7 Perkotaan dan Pedesaan

7.6 Perbedaan Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan 

 

PERBEDAAN MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN

  1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnyadi daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
  2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yg bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.
  3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
  4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lbih rendah bila dibandingkan dgn kepadatan penduduk kota,kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dgn klasifikasi dari kota itu sendiri.
  5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesa bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dgn macam-macam perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen.
  6. Diferensiasi Sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasi pentingnya derajat yg tinggi di dlm diferensiasi Sosial.
  7. Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yg tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrem dari masyarakat.
Kesimpulan dan saran :
Manusia menjalani kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial.
Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial, yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.
Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius. Problem itu tidak akan menjadi masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek kehidupan.

Bab 7 Perkotaan dan Pedesaan


7.5 Urbanisasi

Pengertian urbanisasi yang sebenarnya menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia adalah,suatu proses kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Selain itudalam ilmu lingkungan, urbanisasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengkotaan suatuwilayah. Proses pengkotaan ini dapat diartikan dalam dua pengertian.

Pengertian pertama adalah merupakan suatu perubahan secara esensial unsur fisik dan sosial-ekonomi-budayawilayah karena percepatan kemajuan ekonomi. Contohnya adalah daerah Cibinong dan Bontangyang berubah dari desa ke kota karena adanya kegiatan industri.

Pengertian kedua adalah banyaknya penduduk yang pindah dari desa ke kota, karena adanya penarik di kota, misalkesempatan kerja.Pengertian urbanisasi inipun berbeda-beda, sesuai dengan interpretasi setiap orang yang berbeda-beda. Dari suatu makalah Ceramah Umum di UNIJA, yang dibawakan oleh Ir. TriatnoYudo Harjoko pengertian urbanisasi diartikan sebagai suatu proses perubahan masyarakat dankawasan dalam suatu wilayah yang non-urban menjadi urban. Secara spasial. Hal ini dikatakansebagai suatu proses diferensiasi dan spesialisasi pemanfaatan ruang dimana lokasi tertentumenerima bagian pemukim dan fasilitas yang tidak proporsional.Pengertian lain dari urbanisasi, dikemukakan oleh Dr. PJM Nas dalam bukunya Pengantar Sosiologi Kota yaitu Kota Didunia Ketiga. Pada
pengertian pertama diutarakan bahwaurbanisasi merupakan suatu proses pembentukan kota, suatu proses yang digerakkan oleh perubahan struktural dalam masyarakat sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakatnyalambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota.
Pengertian kedua dari urbanisasi adalah, bahwa urbanisasi menyangkut adanya gejala perluasan pengaruhkota ke pedesaan yang dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial dan psikologi.Dari beberapa pengertian mengenai urbanisasi yang diuraikan di atas, maka dapatdisimpulkan bahwa pengertian urbanisasi adalah merupakan suatu proses perubahan dari desa ke
kota yang meliputi wilayah/ daerah beserta masyarakat di dalamnya dan dipengaruhi oleh aspek-aspek fisik/ morfologi, sosial, ekonomi, budaya, dan psikologi masyarakatnya.




Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan


Bab 7 Perkotaan dan Pedesaan

7.4 Masyarakat Pedesaan
ang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri.
Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.
Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.
Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.
Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan pembangunan.
Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik.
Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.
           
Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep : ”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.
Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik)
Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mengenal ciri-ciri sebagai berikut :
a. Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain dan menolongnya tanpa pamrih.
b. Orientasi kolektif sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.
c. Partikularisme pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)
d. Askripsi yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).
e. Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.

Bab 7 Perkotaan dan Pedesaan

7.3 Aspek Positif dan Negatif


Aspek Positif dan Negatif
a.      Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan, sedangkan di desa sangat sulit untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah industrinya.
b.      Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat, sedangkan di desa sangat sulit didapatkan karena didesa sarana dan prasarana kurang memadai
c.       Karena teknologi yang berkembang pesat di kota timbul hal negative seperti ; kecanduan bermain game on-line, situs-situs yang tidak berguna untuk pendidikan kehidupan sehari-hari,dll.
Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti
Kelas : 1 KA 37
NPM : 11110398
email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id
Dosen : Asri Wulan

Bab 7 Perkotaan dan Pedesaan

7.2 Hubungan Desa dan Kota
Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan.
Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.
“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.
Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.
Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa cara, seperti:
(i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam;
(ii) Inovasi kota , pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan;
(iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi;
(iv) ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan tinggal di kota.





Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan

 

Bab 7 Perkotaan dan Pedesaan


7.1 Pengertian Masyarakat Perkotaan
Pengertian masyarakat menurut para ahli. Definisi masyarakat. Konsep masyarakat. Pengertian masyarakat. Pengertian penduduk menurut para ahli. Masyarakat adalah. Pengertian masyarakat menurut beberapa ahli.
Definisi kesehatan masyarakat menurut para ahli. Pengertian komunitas menurut para ahli. Masyarakat menurut para ahli. Defenisi masyarakat menurut para ahli. Pengertian kesehatan masyarakat menurut para ahli. Defenisi masyarakat. Definisi masyarakat menurut para tokoh.
Arti masyarakat menurut para ahli. Pengertian rakyat menurut para ahli. Pengertian masyarakat kota menurut para ahli. Pengertian masyarakat kota. Pengertian desa menurut para ahli. Pengertian sehat menurut para ahli. Pengertian manusia menurut aristoteles. 

Arti masyarakat. Pengertian kesehatan. Definisi kesmas. Pengertian masyarakat secara umum. Definisi penduduk. Pengertian masyarakat desa. Pengertian kota menurut para ahli.
Masyarakat. Pengertian masyarakat menurut. Definisi kota menurut para ahli. Kesehatan masyarakat menurut para ahli. Pengertian desa menurut beberapa ahli. Masyarakat menurut ahli. Definisi kesehatan masyarakat menurut who.
Pengertian kesmas. Pengertian masyarakat adalah. Definisi komunitas menurut para ahli. Masyarakat menurut koentjaraningrat. Unsur masyarakat menurut koentjaraningrat. Definisi kesehatan masyarakat. Pengertian manusia menurut beberapa ahli.
Pengertian kesehatan masyarakat. Pengertian masyarakat umum. Definisi masyarakat menurut ahli. Definisi masyarakat menurut koentjaraningrat. Pengertian kesehatan menurut who. Arti kesehatan menurut para ahli. Definisi desa menurut para ahli.
Pengertian masyarakat menurut ilmuwan sosial. Pengertian ilmu kesehatan masyarakat menurut who. Masyarakat abstrak. Pengertian kota menurut ahli. Pengertian kesehatan masyarakat menurut ahli. Komunitas menurut para ahli. Pengertian masyarakat menurut para tokoh.
Masyarakat menurut beberapa ahli. Pengertian sehat menurut ahli. Definisi ilmu kesehatan masyarakat. Pengertian masyarakat abstrak. Pengertian masyarakat menurut pendapat para ahli. Pengertian komunitas menurut koentjaraningrat. 10 pengertian masyarakat menurut para ahli.
Definisi rakyat menurut para ahli. Definisi kesehatan. Pengertian konsep masyarakat. Pengertian masyarakat menurut beberapa ilmuwan sosial. Definisi sehat menurut para ahli. Definisi komunitas. Pengertian masyarakat dari para ahli. 

Definisi masyarakat menurut. Defenisi kesehatan masyarakat menurut para ahli. Definisi ilmu kesehatan masyarakat menurut para ahli. Pengertian hubungan masyarakat menurut para ahli. Budaya. Difinisi masyarakat. Arti sehat menurut para ahli. 

Pengertian kesehatan masyarakat secara umum. Definisi masyarakat kota. Pengertian masyarakat menurut parah ahli. Pengertian masyarakat desa menurut para ahli. Pengertian ilmu kesehatan masyarakat. Pengertian masyrakat menurut para ahli. Pengertian komunitas.
Masyarakat menurut. Pengertian kesehatan masyarakat menurut who. Definisi rakyat. Pengertian masyarakat betawi. Pengertian desa. Definisi masyarakat umum. Definisi komunitas menurut koentjaraningrat.
Definisi masyarakat desa menurut para ahli. Definisi kesehatan masyarakat menurut ahli. Defenisi kesmas. Konsep masyarakat menurut koentjoroningrat. Definisi hubungan masyarakat menurut para ahli. Pengertian sehat menurut beberapa ahli. 



Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan
 

Bab 6 Pelapisan Sosial

6.10 Pengertian Pembagian Pendapatan

Pengertian Pembagian Pendapatan bias di artikan luas menjadi dua bagian Komponen Pendapatan dan Perhitungan Pendapatan.
1. Komponen Pendapatan
 Pada dasarnya dalam kehidupan ekonomi itu, hanya ada dua kelompok. Yaitu rumah tangga produsen dan rumah tangga prokdusi. Pemilik factor produksi yang telah menyerahkan atau mengikutsertakan factor produksinya ke dalam proses produksi akan memperoleh balas jasa. Pemilik alam (Tanah) akan memperoleh sewa. Pemilik tenaga akan memperoleh upah. Pemilik modal akan memperoleh bunga dan pengusaha (Skil) akan memperoleh keuntungan.
  
Semua balas jasa yang diterima oleh pemilik factor produksi tersebut merupakan pendapatan nasional. Dan besar kecilnya sangat tergantung dari peranan atau penting tidaknya factor produksi tersebut. Selain itu juga dipergaruhi oleh system distribusi dan redistribusi yang berlaku.

            `pedagang yang melakukan jasa berupa menjual hasil yang telah di belinya, dari desa ke kota akan memperoleh balas jasa berupa keuntungan, upah karena telah mengangkutnya ke kota, bunga modal karena mengikutsertakan modalnya dalam perdagangan. Sedangkan sewa tanahnya yang berupa restribusi pasar di bayarkan ke pemerintah. Demikian prosesnya, untuk semua proses produksi.
2. Perhitungan Pendapatan

Apabila diteliti lebih lanjut, masih terdapat factor – factor lain yang dapat mempegaruhi besarnya upah atau sewa tanah, walaupun hasil yang dapat diperolehnya tetap. Namun demikian, tingkat upah atau sewa tanah itu tidak bergerak bebas naik terus – menerus.
Contoh Pembagian Pendapatan dalam Masyarakat ada 2 hal ini terbagi dalam dunia masyarakat atau dunia pekerjaan banyak yang mengistilahkan juga dalam dunia bisnis karena di mana ada 2 orang atau lebih yang bersangkutan maka di sanalah terjadi pembagaian pendapatan dan dalam dunia pekerjaan mendapatkan gaji adalah pembagian pendapatan antar karyawan.






Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan
 

Bab 6 Pelapisan Sosial

6.9 Artikel Yang Berhubungan Dengan Elite dan Massa

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja
manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi.Pentingnya suatu komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri begitupula halnya bagi suatu negara. Dimana didalamnya menurut Goetano Mosca terdapat sekelompok orang yang memerintah dan orang yang diperintah. Orang yang memerintah yang biasanya disebut elite politik sedangkan orang
yang diperintah adalah masyarakat atau rakyat (kelompok massa). Kelompok elite politik junmlahnya agak sedikit, mengambil peran utama dalam hampir semua fungsi politik nasional, memonopoli kekuatan dan menikmati keuntungan daripadanya; sedangkan kelompok massa, dibina dan diawasi oleh yang pertama baik secara legal atau tidak, dengan atau tanpa pedoman hukum dan
kekerasan. Dengan adanya komunikasi yang baik akan suatu pemerintahan dapat berjalan dengan baik, lancar serta berhasil begitu pula sebaliknya, kurangnya komunikasi akan mengahambat jalannya pemerintahan dan akan menghambat pembangunan yang pada akhirnya akan menimbulkan kerugian yang sangat besar yang akan di alami oleh rakyat atau masyarakat negara tersebut.
               Brent D. Ruben dalam buku Komunikasi memberikan definisi komunikasi yaitu suatu aktivitas yang mempunyai beberapa
tahap yang terpisah satu sama lain tetapi berhubungan. Sedangkan DR. Arni Muhammad dalam buku yang sama memberikan pengertian
komunikasi yaitu pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim pesan dengan si penerima pesan untuk mengubah
tingkah laku.
ELITE POLITIK DALAM SISTEM KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA
            Sistem komunikasi politik kita secara vertikal terdiri dari elite politik, media massa dan masyarakat; masing-masing merupakan subsistem yang berfungsi selaku sumber (komunikator), saluran dan khalayak  penerima (komunikan). Dan suatu proses yang dikenal sebagai umpan balik (feed back). Di negara - 
negara totaliter dengan pola komunikasi satu kepada semua, proses komunikasi politik berlangsung  dimana elite politik sebagai sumber pesan-pesan politik (komuniukator politik) yang berada pada posisi aktif, sementara media massa sebagai saluran bagi setiap pesan politik dan masyarakat sebagai khalayak penerima pesan yang berada pada posisi pasif. Pesan-pesan/informasi politik secara berkesinambungan datang dari elite politik dari media massa dan masyarakat, secara mutlak harus mentaati dan menerimanya. Dengan demikian proses komunikasi berlangsung dari atas ke bawah. Proses umpan balik juga ada yakni dalam bentuk
persetujuan (semu) masyarakat terhadap apa yang datang dari atas. Sedangkan pesan maupun
informasi politik hampir sepenuhnya bersifat agitasi dan propaganda. Jadi para elite politik itu bertindak sebagai agitator dan propagandis, sedangkan media massa berfungsi sebagai sarana propaganda politik.Sebagai komunikator, elite politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah yaitu menentukan alokasi ganjaran(imbalan dan hukuman, atau reward and punishment) dan mengubah atau mencegah perubahan struktur sosial/politik yang ada. Dalam kewenangannya yang pertama, elite politik berkomunikasi sebagai wakil darikelompok penguasa (diktator plorelatar). Sedangkan pada negara demokratis dengan pola komunikasi satu kepada satu, proses komunikasi berlangsung secara vertikal dan horisontal. Di Indonesia, pola komunikasi satu kepada yang satu lainnya hanya berlangsung pada situasi-situasi tertentu dan relatif masih berlangsung antara elite politik dengan anggota masyarakat, elite dengan elite yang lain secara individual maupun kelompok,serta antar masyarakat dengan masyarakat lainnya secara individual maupun kelompok. Secara umum dapat dikatakan bahawa pembicaraan politik masih didominasi elite politik. Selain itu media massa tidak bisa memanfaatkan sedikit kebebasan yang dimilikinya tetap untuk menangkap dan meyebarkan pembicaraan politik tersebut.


Kesimpulan dan komentar :
Dari uraian-uraian komunikasi politik yang dilakukan oleh elite politik di indonesia di atas, dapat disimpulkan
bahwa elite politik sebagai suatu kelompok kecil yan dominan dalam masyarakat memiliki kelebihan dan kemampuan untuk megerahkan masyarakat sesuai cita-cita bersama. Dalam rangka itu diperlukan suatu hubungan atau komunikasi dimana keduanya dapat melakukan peran dan fungsi politik secara seimbang. Untuk mewujudkan pola komunikasi yang baik diperlukan iklim politik yang demokratis dan terbuka,sehingga semua unsure yang menjalankan fungsi dan peran sebagai komunikator dan komunikan politik dapat menjalankannya sebagimana mestinya. Dan begitu juga dengan masyarakat dituntut harus dapat  menciptakan prakarsa  dan mengemnagkan kreatifitasnya.

Bab 6 Pelapisan Sosial

6.8 Contoh Di Masyarakat

Idi Subandi Ibrahim pernah menyunting sebuah kumpulan tulisan tentang kebudayaan massa di Indonesia yang diberi judul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997) sembari menanyakan keberadaan moralitas di dalamnya. Terlepas dari apapun moralitas yang dipertanyakan dalam produk-produk kebudayaan massa, dalam Lubang Hitam Kebudayaan (Kanisius, Yogyakarta, 2002) hasil penelitian Hikmat Budiman, generasi yang lahir dan tumbuh di dalam kebudayaan tersebut di Indonesia ini justru telah berperan penting menjatuhkan Suharto dari kekuasaannya pada tahun 1998. Generasi itu, dengan mengutip istilah Bre Redana, seorang wartawan Kompas, olehnya disebut sebagai “Generasi MTV.”

Penerbit Jalasutra akhirnya menerbitkan kembali kumpulan tulisan tersebut. Ada 24 tulisan di dalamnya ditambah semacam “Kata Pengantar” oleh penyunting. Beberapa kontributor antara lain—dapat disebutkan di sini—Ariel Heryanto, Ashadi Siregar, Bre Redana, Clifford Geertz, Danarto, Darmanto Jatman, Jalaluddin Rahmat, Keith Foulcher, Kuntowijoyo, Marwah Daud Ibrahim, Masri Singarimbun, Sapardi Djoko Damono, Sarlito Wirawan Sarwono, Umar Kayam, dan Yasraf Amir Piliang. Kesemuanya itu dibagi dalam empat bagian, yakni “Budaya Massa atau Budaya Pop: Sebuah Pendahuluan,” “Budaya Media dan Budaya Citra,” “Budaya Simbolik dan Komodifikasi Gaya Hidup,” dan “Hegemoni Kesadaran dan Industri Budaya Kapitalisme.”

Mengenai “kebudayaan massa”, ini adalah istilah kita untuk mass culture. Istilah Inggris ini konon berasal dari bahasa Jerman Masse dan Kultur. Sebenarnya istilah “kebudayaan massa” sendiri merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan. Istilah ini merupakan pasangan dari high culture, “kebudayaan elite” atau “kebudayaan tinggi.”

Biasanya, istilah “kebudayaan tinggi” diacukan tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam masyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dalam pikiran dan perasaan mereka yang memilih jenis kesenian dan produk simbolik tersebut. Sebaliknya, “mass” atau “masse” mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak-terpelajar dan non-aristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa kita sebut sebagai kelas menengah bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Dengan demikian, jika “kebudayaan tinggi” dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”, yang elit dan terpelajar, maka istilah “kebudayaan massa” dianggap milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak-terpelajar.

Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai.

Begitu pula halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang menunjuk pada berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga...berselera dangkal! Bagi mereka yang “terjerat” di dalamnya, produk-produk dari kebudayaan massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi, (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk menolaknya—meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.

Bagaimana kita dapat mengenali produk-produk dan/atau praktek-prakteknya? Untuk mengenalinya, menurut Kuntowijoyo dalam tulisannya (“Budaya Elite dan Budaya Massa”), kita dapat lihat dari ciri-ciri yang selalu menyertainya. Sebab kebudayaan massa adalah akibat dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri, terjadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya.

Ciri pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek, yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi; artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. Dan ciri ketiga (ciri terakhir) adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa.

Senada dengan itu, Sapardi Djoko Damono dalam tulisannya (“Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil”) mengatakan bahwa, pada hakikatnya yang kita risaukan adalah kebudayaan massa ini yang, sebagai akibat dari semakin berkembangnya komunikasi, memang tak dapat dihindari. Menurutnya, ada beberapa hal yang menyebabkan kerisauan kita itu: (1) kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran berdasarkan perhitungan dagang belaka, (2) kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya, (3) kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak, dan (4) penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi nilai kebudayaan (tinggi) itu sendiri tapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap berbagai teknik godaan dan bujukan, sehingga membuat peluang bagi munculnya totalitarianisme.

Lantas, bagaimana kita mengenali produk-produk kebudayaan tinggi? Dalam kebudayaan tinggi, pemiliknya (1) tetap menjadi pelaku (subjek budaya); (2) tidak mengalami alienasi, dan jati dirinya tetap; serta (3) akan mengalami pencerdasan.

Bahwa pemiliknya menjadi pelaku, artinya menjadi orang yang utuh, yang identitasnya tidak tenggelam dalam budaya. Ia tetap menjadi dirinya sendiri dan ia pun berhak penuh untuk menafsirkan apa yang dialaminya. Ia tidak larut dalam objeknya, tetapi tetap menjadi subjek. Akibatnya, pemilik sekaligus pelakunya tidak mengalami alienasi. Ia akan merasa akrab dengan kehidupan, sebab disuguhkan realitas tanpa polesan. Karena menjadi pelaku yang utuh dan tak teralienasi, maka ia akan mengalami pencerdasan. Ia pun akan mendapatkan kebijaksanaan dan menjadi lebih pandai dari sebelumnya.

Sayangnya, menurut Ashadi Siregar, istilah kebudayaan massa sering disaling-pertukarkan dengan kebudayaan pop(uler), termasuk oleh penyunting buku ini. Sebab, berdasarkan pandangan MacDonald yang dikutip Hikmat Budiman dalam Lubang Hitam Kebudayaan (hal.114) tadi, keduanya memiliki perbedaan yang sering tak disadari oleh banyak orang. Pembeda paling penting di antara keduanya tidak terutama terletak pada jumlah khalayak yang menerimanya, melainkan lebih pada motif di belakang produksi yang menghasilkan dua jenis produk budaya tersebut. Budaya massa jelas budaya yang semata-mata dan secara langsung merupakan objek untuk konsumsi massa, sedangkan budaya populer tak melulu hanya dikonsumsi massa tapi juga sering dikonsumsi oleh kalangan elit-terpelajar.

Sebagai sebuah kumpulan tulisan, buku ini merupakan pengantar-memadai untuk mengenal kebudayaan massa berikut contoh-contohnya yang berkembang di Indonesia ini. Menariknya, contoh-contoh tersebut diberikan sekaligus dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Misalnya, Clifford Geertz yang mengambil contoh “kesenian populer” dalam tradisi Jawa; Kuntowijoyo yang mengambil contoh pergeseran sensibilitas pers masa Orde Baru; Umar Kayam yang menggambarkan secara ringkas perkembangan kebudayaan massa dalam film, musik, seni pertunjukan, dan sastra; Marwah Daud Ibrahim, Danarto, Krishna Sen, dan Saraswati Sunindyo yang membahas citra wanita dalam berbagai media; atau Ashadi Siregar, Sarlito W. Sarwono dan Jalaluddin Rahmat yang mengangkat contoh gaya hidup anak muda sekarang ini; dan tak ketinggalan adalah Bre Redana serta Yasraf Amir Piliang yang membahas gaya hidup konsumerisme berikut motif di belakangnya.




Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan

 

Bab 6 Pelapisan Sosial

6.7 Pengertian Elite dan Massa

Pengertian Elite itu merujuk sekelompok orang yang dalam masyarakat menepati kedudukan tinggi. Dalam arti lebih yang khusus dapat diartikan sekelompok orang terkemuka di bidang – bidang tertentu dan khususnya golongan kecil yang memegang kekuasaan.
            Dalam cara pemakaiannya yang lebih umum elite dimaksudkan “Posisi di dalam masyarakat di puncak struktur – sturktur sosial yang terpenting, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi, pemerintahan aparat kemiliteran, politik, agam, pengajar, dan pekerja – pekerja dinas.
            Pengertian Massa dipergunakan untk menunjukan suatu pengelompokan kolektif  lain yang elementer dan spontan, yang dalam beberapa hal menyerupai Crowd, tapi secara Fundamental berbeda dengannya dalam hal – hal yang lain
            Massa diwakili oleh orang – orang yang berperan serta dalam perilaku massal sepertinya mereka yang terbangkitnya minatnya oleh beberapa peristiwa nasional, mereka yang menyebar di berbagai tempat, mereka yang tertarik pada suatu peristiwa pembunuhan sebagai diberikan dalam pers, atau mereka yang berperanserta dalam suatu migrasi dalam arti luas.
Contoh Elite dan Massa dalam Masyarakat Elite jumlahnya sedikit, tapi memiliki pengaruh di bidang masing - masing. Contoh Elite politik, Elite pemerintah. mereka kan jumlahnya sedikit, tapi bisa membawa pengaruh pada politik dan pemerintahan. Massa jumlahnya banyak, tapi cenderung tidak memiliki pengaruh apapun kalau mereka tidak bisa sebanding dengan orang – orang yang Elite.



Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan

Bab 6 Pelapisan Sosial

6.6 Artikel Yang Berhubungan Dengan Kesamaan Derajat

Di kalangan masyarakat yang menganut tradisi hukum civil law, ketentuan tentang hukum tata negara darurat bisanya diatur secara eksplisit dalam undang-undang dasar dengan rincian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang (statute). Misalnya, konsep dasar tentang etat de siege di Prancis, yang diatur dalam Konstitusi Republik Kelima tahun 1958 dan dielaborasi lebih rinci dalam undang-undang. Namun, di Amerika Serikat, Inggris, dan juga di negara-negara common law lainnya, tradisi yang demikian itu tidak dikenal. Praktik yang dikembangkan di kalangan negara-negara Anglo-Amerika adalah praktik yang biasa disebut dengan istilah martial law yang sama sekali tidak diatur dalam naskah undang-undang dasar secara tertulis (written constitution) dalam arti yang lazim. Di masyarakat, juga tidak terdapat ketentuan hukum seperti undang-undang yang secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat itu.” Berbeda dart negara-negara yang menganut sistem civil law, seperti Prancis, India, termasuk Indonesia, pemberlakuan keadaan darurat dan kewenangan Kepala Negara secara eksplisit diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan.
Hukum Keadaan Darurat
Di Amerika Serikat, doktrin martial law ini berkembang dengan sendirinya dalam praktik melalui peranan pengadilan atas dasar prinsip judge-made law (Hakim membuat undang-undang/hukum).
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, istilah-istilah state of emergency (Inggris), martial law (Amerika Serikat), etat de siege (Prancis), staatsnoodrecht (Belanda), dan lain-lain, semua menunjuk kepada pengertian keadaan luar biasa atau keadaan di luar kebiasaan yang memberikan pembenaran bagi diterapkan atau berlakunya hukum yang juga luar biasa, di luar kebiasaan normal.
Pada keadaan yang normal/biasa, berlaku hukum yang normal atau biasa yang bersifat tetap (permanen), sedangkan dalam keadaan tidak normal berlaku hukum darurat yang bersifat sementara, yang dapat mengesampingkan prinsip-prinsip hukum keadaan normal.
Di sini, esensinya didasarkan pada konsep kebutuhan (the concept of necessity), dengan mengurangi batasan-batasan terhadap penggunaan kekuatan militer, jika keadaan negara menghendaki pemberlakuan keadaan darurat itu.
Sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, pada tahun 1848 timbul kasus pertama di pengadilan berkenaan dengan pemberlakuan martial law ini, yaitu perkara Luther vs Borden. Menurut Chief Justice Taney: “A state could impose martial law to combat an insurrection, and the decision as to whether to do so is left to the state itself‘” (Negara dapat memberlakukan hukum keadaan darurat untuk mengatasi huru-hara, dan keputusan untuk melakukannya atau tidak tergantung negara itu sendiri). Dengan perkataan lain, menurut Mahkamah Agung pada perkara pertama ini: “States possessed the power to declare martial law without being subject to judicial review” (Negara dianggap mempunyai wewenang untuk memberlakukan martial law (hukum darurat militer) tanpa harus tunduk pengujian oleh pengadilan).
Kemudian, kasus kedua, ketika dikenal adanya perkara Ex parte Miligan pada tahun 1864. Sebagai seorang warga sipil yang diadili oleh military commission (Military Tribunal), Miligan mengajukan permohonan a writ of habeas corpus ke pengadilan federal dengan mempersoalkan kewenangan (jurisdiksi) peradilan militer untuk mengadili dirinya.
Akhirnya, Mahkamah Agung Amerika Serikat menentukan bahwa martial law tidak dapat diterapkan bagi warga negara apabila negara berada dalam keadaan normal dan di mana pengadilan sipil dapat menjalankan tugasnya secara terbuka tanpa halangan. Dalam keadaan demikian, pengadilan militer tidak dapat mengadili siapa pun juga dari warga sipil yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum.
Dari contoh praktik penyelesaian keadaan darurat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa selain negara mempunyai wewenang untuk memberlakukan martial law tanpa harus tunduk pengujian oleh pengadilan, juga putusan Mahkamah Agung menetapkan bahwa martial law tidak dapat diterapkan terhadap warga negara apabila negara berada dalam keadaan normal, ketika pengadilan sipil dapat menjalankan tugasnya secara terbuka tanpa halangan. Dengan kata lain, peradilan militer itu hanya dilaksanakan terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum ketika terjadi keadaan darurat, bukan untuk keadaan normal.
Di Indonesia pelanggaran HAM berat di saat pemberlakuan keadaan darurat militer, misalnya di Timor-Timur, hal itu justru diselesaikan dengan prosedur dan cara-cara yang normal seperti diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bukan diselesaikan dengan peradilan militer. Fungsi Pengadilan Militer dan Pengadilan Sipil saat itu tetap berjalan sebagaimana biasanya dalam keadaan normal.
Saat Presiden Henry Truman menentukan konstitusionalitas pemberlakuan keadaan darurat (state of emergency), Justice Jackson mengidentifikasikan adanya tiga kategori kewenangan Presiden untuk memberlakukan martial law dalam keadaan bahaya atau darurat (state of emergency),” yaitu:
1) Karena didasarkan atas kuasa Kongres; atau
2) Tidak didukung secara eksplisit oleh Kongres, tetapi Kongres sendiri tidak
melarang tindakan pemberlakuan keadaan darurat dimaksud; atau 3) Bahwa Presiden memberlakukan sendiri keadaan darurat tersebut meskipun Kongres menentang.
Dalam kategori pertama, pemerintah bertindak eksplisit atau implisit dengan didasarkan pada delegasi kekuasaan dari kongres. Di sini kewenangan Presiden berada pada posisi yang “sangat kuat” karena menguasai semua kewenangannya sendiri dalam keadaan biasa, ditambah kewenangan baru yang didelegasikan oleh Kongres untuk bertindak di luar keadaan biasa.
Dalam kategori kedua, Presiden bertindak tanpa dukungan eksplisit dari Kongres. Di sini Kongres bersikap diam saja atas tindakan Presiden. Presiden hanya menggunakan kewenangan otonomnya (independent authority), dan konstitusionalitas keadaan darurat itu tergantung pada apakah kegiatan demikian berada dalam kewenangan inherennya sendiri atau tidak (his own inherent powers).
Dalam kategori ketiga, Presiden bertindak dengan berposisi langsung terhadap kehendak eksplisit ataupun implisit dari kongres. Tindakan Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat dalam kategori terakhir ini merupakan tindakan yang paling rendah derajat konstitusionalitasnya sehingga dapat dijadikan alasan yang paling mudah untuk diperkarakan ke pengadilan. Dalam keadaan demikian, pengadilanlah nantinya yang akan menentukan putusan final atas konstitusionalitas pemberlakuan keadaan darurat dimaksud.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kewenangan Presiden selaku kepala negara dan pemerintahan dalam menentukan dan menetapkan status hukum keadaan darurat “sangat kuat” dan sentral. Indonesia pun menganut hal yang sama, kewenangan Presiden memberlakukan tindakan luar biasa (keadaan darurat) dibenarkan secara hukum sesuai menurut Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, asalkan status hukum keadaan darurat (state of emergency) itu dideklarasikan terlebih dahulu oleh Presiden kepada publik. 



Nama : Bethaviana Aqmarina Dysanti

Kelas : 1 KA 37

NPM : 11110398

email : bethaviana_aqmarina@yahoo.co.id

Dosen : Asri Wulan